Karakteristik Autis
Anak yang mengalami gejala autism ditandai
dengan perilaku anak yang selalu mengulangi gerakan yang sama. Keragaman
pengulangan gerakan yang dilakukan oleh anak autis, dapat dikelompokkan dalam
beberapa bagian, berdasarkan Repetitive Behaviore Scale – Revised
(RBS-R) yang dikemukakan dalam Journal of Autism Development Disorder
( Lam KSL and Aman, 2007: 855-866).
Kategori anak autis yang dikelompokkan
berdasarkan (RBS) adalah sebagai berikut:
- Stereotype yaitu pengulangan gerakan, seperti bertepuk tangan, berputar-putar, mengerak-gerakkan kepalanya dan badannya, serta bersuara dengan mengeluarkan bunyi tertentu.
- Restricted Behavior yaitu perilaku yang terfokus pada satu aktivitas tertentu, misalnya menonton televisi hanya pada siaran tertentu saja.
- Compulsive Behavior yaitu perilaku anak yang mengikuti pola tertantu, seperti selalu memainkan mobil-mobilan dengan menggerakkan rodanya saja, atau menyusun mainannya dengan menderetkan mainan itu, dan penyusunannya selalu sama dari waktu ke waktu.
- Sameness yaitu perilaku yang tidak mau berubah. Hal ini dapat kita lihat, saat anak selalu mempertahankan benda pada tempatnya, dan benda itu tidak boleh dipindahkan ke tempat lainnya.
- Ritualistic Behaviour yaitu kecenderungan anak tidak mau memvariasikan pola kegiatan sehari-hari, seperti tidak mau mengubah menu dan pola makannya, dan selalu menolak makanan yang tidak disukainya.
- Self-injured yaitu perilaku yang cenderung melukai diri sendiri, yang dilakukan secara berulang. Hal yang sering dilakukannya adalah menarik rambutnya, menggigit tangannya, menarik kulitnya, bahkan membentur-benturkan kepalanya.
- 3. Autisme dan Perkembangan Bahasa
Anak yang mengalami gejala autis seringkali memiliki
masalah dengan kemampuan berbahasanya. Bahkan 2/3 sampai 50% anak
penderita autis, tidak mengalami perkembangan bahasa dan tidak dapat
berkomunikasi dengan baik. (Braten Ellen and Felopulus, 2004).
Kemampuan berbahasa anak yang memiliki gejala autis
dapat dilihat sejak usia 14 bulan, namun memiliki gejala yang tetap sejak usia
2 sampai 3 tahun. Pada saat itu, anak autis jarang mengeluarkan suara yang
bermakna, seperti yang sering dilakukan anak normal, bahkan ada anak yang
cenderung membisu tidak mau bersuara. Namun ditemukan kecenderungan anak autis
yang selalu mengulangi kembali apa yang dilafalkan/diucapkan oleh orang lain.
Misalnya kita menyapanya dengan perkataan “ Hey, siapa namamu?”, maka ia pun
akan mengulangi lafal tersebut “Hey namamu siapa?”.
Kemampuan penguasaan bahasa pada anak autis, perlu
diajarkan dengan sabar oleh seorang terapis (seseorang yang sudah mengikuti
pelatihan untuk menangani anak autis), karena kemampuan berbahasa anak autis
tidak dapat tumbuh dengan sendirinya. Kemampuan berbahasanya akan bertambah
baik, sejalan dengan usaha maksimal dari orang lain yang berada di lingkungan
terdekatnya.
Anak autis mengalami keterlambatan berkomunikasi.
Mereka mengalami kesulitan melafalkan ejaan dan menggunakan kosa kata, karena
memang anak autis mengalami kelemahan dalam pemahaman bahasa dan menafsirkan
isi bahasa, yang digunakan saat berkomunikasi. Agar komunikasi kita
dengan anak autis dapat berlangsung dengan baik, sebaiknya kita menggunakan
kata dan kalimat yang dilafalkan lebih lambat/tidak cepat, dan diujarkan
dengan penuh kesabaran.
Teknik Pengajaran Bahasa Untuk Anak Autis
Anak yang memiliki kecenderungan autis, perlu dibantu
oleh seorang terapis untuk mengatasi gejala autisnya, agar anak autis dapat
menjalankan kehidupannya dengan baik, mendekati kebiasaan yang dilakukan oleh
orang normal. Seorang terapis untuk anak autis, dapat membantu mengembangkan
kontak sosialnya dengan orang lain, serta mengembangkan kemampuan berbahasanya.
Bantuan yang diberikan oleh seorang terapis, disesuaikan dengan kebutuhan
individu anak autis. Hal itu sejalan dengan pendapat Meyer and Johnson
dalam “Management of Children with Autism Spectrum Disorders” yang
menyatakan bahwa,”Upaya terapi autism bersifat variatif dan bersifat
individual”.
Kemampuan seorang terapis dalam menempatkan anak autis
berdasarkan kasus yang dialaminya, dan membuat program yang disesuaikan dengan
kebutuhan individu anak, sangat membantu pengembangan dan mengurangi gejala
kemunculan autism. Sebaiknya bantuan itu diberikan sejak anak berusia dini,
agar anak memperolah kemampuan diri yang berkaitan dengan self-care (cara
merawat diri), social skill (kemampuan melakukan kontak dan tindak sosial) and
job skill (keterampilan kerja). Hal itu sangat penting, karena semakin tahun,
anak akan menjadi semakin dewasa yang harus dapat mengurus dirinya sendiri, dan
tentunya peran orang tua atau orang lain semakin berkurang. Berbagai pendekatan
yang dapat dilakukan untuk membantu anak autis, di antaranya yang disebut
dengan Applied Behaviour Analysis (ABA).
Persiapan Program Dengan Teknik ABA
Teknik ABA (Applied Behaviore Analysis) sudah dikenal sejak lama. Sekitar 15
tahun yang lalu, seorang pakar terapi perilaku yang bernama Prof. Ivar
O. Lovaas dari Amerika Serikat, telah menerapkan metode ini kepada
anak-anak autis. (Handojo, 2009:3). Ternyata hasilnya sangat menggembirakan,
karena banyak anak yang tadinya autis, kini dapat memasuki sekolah formal.
Akhirnya metode ini dikenal dengan sebutan metode Lovaas.
Program yang dilakukaan oleh terapis dengan teknik
Applied Behavior Analysis, harus dilakukan dengan penuh kesabaran, tidak dengan
tindak kekerasan, marah, pemaksaan, mengancam, bahkan menyakiti anak,
namun semua yang dilakukan harus berdampak pada kepatuhan anak
mengikuti semua program yang telah disusun dengan baik. Ketegasan seorang
terapi di mulai dari cara pelatih menggunakan kualitas suara, serta kalimat
deklaratif, interogatif, dan imperatif yang digunakannya dalam berkomunikasi
dengan anak autis. Program yang telah disusun oleh seorang terapis, sebaiknya juga
dapat dilakukan oleh seluruh anggota keluarga di rumah, dengan cara dan teknik
yang sama seperti yang dilakukan oleh terapis tadi.
Pelatihan yang diberikan oleh seorang terapis dengan menggunakan teknik ABA,
dilakukan dengan penuh kehangatan, tegas, dan mengapresiasi setiap keberhasilan
yang diraih anak. Kehangatan diperlukan agar terjadi kontak mata dengan anak,
tegas artinya semua perintah tidak dapat ditawar dengan tangisan maupun
kemarahan anak, dan setiap keberhasilan harus diberi penghargaan berupa
kata-kata bersahabat, tepukan, pelukan hangat, bahkan makanan dan minuman
yang disukai anak.
Persiapan yang dapat dilakukan oleh seorang terapi
untuk anak autis, dimulai dari penyusunan program, yang dilanjutkan dengan
persiapan ruang terapi, persiapan imbalan yang diperlukan, dan mempersiapkan
mental anak yang akan melakukan kegiatan terapi. Persiapan ini sangat penting
mengingat, terdapat banyak perbedaan dalam menghadapai anak normal dan anak
autis.
Persiapan ruang untuk terapi dilakukan dengan
memperhatikan aspek kepentingan anak, seperti ruang dibuat dari bahan-bahan
yang aman untuk anak, ruang dibuat kedap suara, suhu udara tidak panas, tidak
ada suara pengganggu, ruang tidak terlalu luas-cukup 1,5 m s.d. 2 m, tidak ada
gambar mencolok, dan pandangan ke jendela harus dihalangi oleh gorden, agar
pandangan anak dapat fokus.
Persiapan imbalan yang diberikan untuk anak autis
beraneka ragam, tetapi kita sebagai terapi harus dapat mengurutkan
hadiah/imbalan yang akan diberikan untuk merayakan keberhasilan anak. Tepuk
tangan disertai dengan ungkapan kata-kata sederhana yang mudah diingat anak,
seperti “yes atau toss” dengan menempelkan tangan anak dan tangan terapi,
merupakan ungkapan yang menyenangkan. Pemberian imbalan harus diurutkan sesuai
dengan kegemaran anak, di mulai dengan urutan verbal,aksi
cium-peluk-tepukan-gelitikan-belaian, aksi lainnya seperti kata yes/toss/ok,
barulah diakhiri pemberian materi/makanan. Hal itu dimaksudkan agar anak
tidak kehilangan gairah mendengarkan perintah gurunya.
Persiapkan diri anak agar siap untuk menjalani terapi.
Terapi diberikan dalam suasana menyenangkan dengan penuh kasih sayang. Anak
autis yang memiliki kecenderungan duduk, maka seorang terapis harus lebih
sering menggunakan kata “berdiri”! Selain itu, anak autis harus di dudukkan
sejajar dengan pandangan mata terapis, agar terjadi kontak mata. Terapis dapat
memegang kepala anak dekat telinganya, panggil namanya, dan usahakan anak
tersebut mau melakukan kontak mata dengan kita. Jika anak belum mau
melakukannya, maka ambillah makanan/benda kegemaran anak, tunjukkan benda
tersebut di depan mata anak, agar ia mau melakukan kontak mata, serta melakukan
perintah terapis. Bila anak mau melakukan perintah tersebut,dengan waktu
sekitar 5 detik, maka anak dapat diberi hadiah.
Anak autis yang beruasi 18-20 bulan, sudah dapat
memulai terapi menggunakan teknik Applied Behavior Analysis (ABA). Anak
autis harus menjalani terapi setiap hari, dan pengalaman Aqca Center
menunjukkan bahwa anak autis yang tidak mengalami komplikasi lain (retardasi
mental, cacat penglihatan, cacat pendengaran, dll), dengan terapi metode ABA
yang dilakukan lebih dari 8 jam sehari, maka dalam usia 2 s.d. 2,5 tahun, anak
autis tersebut sudah dapat mengikuti sekolah regular sesuai usianya. (Handojo,
2009: 17).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar