Jumat, 29 November 2013

KARAKTERISTIK AUTIS



Karakteristik Autis
Anak  yang mengalami gejala autism ditandai dengan perilaku anak yang selalu mengulangi gerakan yang sama. Keragaman pengulangan gerakan yang dilakukan oleh anak autis, dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian, berdasarkan Repetitive Behaviore Scale – Revised  (RBS-R) yang dikemukakan dalam Journal of Autism Development Disorder ( Lam KSL and Aman, 2007: 855-866).
Kategori anak  autis yang dikelompokkan berdasarkan (RBS) adalah sebagai berikut:
  1. Stereotype yaitu pengulangan gerakan, seperti bertepuk tangan, berputar-putar, mengerak-gerakkan kepalanya dan badannya, serta bersuara dengan mengeluarkan bunyi tertentu.
  2. Restricted Behavior yaitu perilaku yang terfokus pada satu aktivitas tertentu, misalnya menonton televisi hanya pada siaran tertentu saja.
  3. Compulsive Behavior yaitu perilaku anak yang mengikuti pola tertantu, seperti selalu memainkan mobil-mobilan dengan menggerakkan rodanya saja, atau menyusun mainannya dengan menderetkan mainan itu, dan penyusunannya selalu sama dari waktu ke waktu.
  4. Sameness yaitu perilaku yang tidak mau berubah. Hal ini dapat kita lihat, saat anak selalu mempertahankan benda pada tempatnya, dan benda itu tidak boleh dipindahkan ke tempat lainnya.       
  5. Ritualistic Behaviour yaitu kecenderungan anak tidak mau memvariasikan pola kegiatan sehari-hari, seperti tidak mau mengubah menu dan pola makannya, dan selalu menolak makanan yang tidak disukainya.
  6. Self-injured yaitu perilaku yang cenderung melukai diri sendiri, yang dilakukan secara berulang. Hal yang sering dilakukannya adalah menarik rambutnya, menggigit tangannya, menarik kulitnya, bahkan membentur-benturkan kepalanya.

  1. 3.                Autisme dan Perkembangan Bahasa
Anak yang mengalami gejala autis seringkali memiliki masalah dengan kemampuan berbahasanya. Bahkan 2/3 sampai 50% anak  penderita autis, tidak mengalami perkembangan bahasa dan tidak dapat berkomunikasi dengan baik. (Braten Ellen and Felopulus, 2004).
Kemampuan berbahasa anak yang memiliki gejala autis dapat dilihat sejak usia 14 bulan, namun memiliki gejala yang tetap sejak usia 2 sampai 3 tahun. Pada saat itu, anak autis jarang mengeluarkan suara yang bermakna, seperti yang  sering dilakukan anak normal, bahkan ada anak yang cenderung membisu tidak mau bersuara. Namun ditemukan kecenderungan anak autis yang selalu mengulangi kembali apa yang dilafalkan/diucapkan oleh orang lain. Misalnya kita menyapanya dengan perkataan “ Hey, siapa namamu?”, maka ia pun akan mengulangi lafal tersebut “Hey namamu siapa?”.
Kemampuan penguasaan bahasa pada anak autis, perlu diajarkan dengan sabar oleh seorang terapis (seseorang yang sudah mengikuti pelatihan untuk menangani anak autis), karena kemampuan berbahasa anak autis tidak dapat tumbuh dengan sendirinya. Kemampuan berbahasanya akan bertambah baik, sejalan dengan usaha maksimal dari orang lain yang berada di lingkungan terdekatnya.
Anak autis mengalami keterlambatan berkomunikasi. Mereka mengalami kesulitan melafalkan ejaan dan menggunakan kosa kata, karena memang anak autis mengalami kelemahan dalam pemahaman bahasa dan menafsirkan isi bahasa, yang digunakan saat  berkomunikasi. Agar komunikasi kita dengan anak autis dapat berlangsung dengan baik, sebaiknya kita menggunakan kata dan kalimat yang dilafalkan lebih lambat/tidak cepat, dan  diujarkan dengan penuh kesabaran.
Teknik Pengajaran Bahasa Untuk Anak Autis
Anak yang memiliki kecenderungan autis, perlu dibantu oleh seorang terapis untuk mengatasi gejala autisnya, agar anak autis dapat menjalankan kehidupannya dengan baik, mendekati kebiasaan yang dilakukan oleh orang normal. Seorang terapis untuk anak autis, dapat membantu mengembangkan kontak sosialnya dengan orang lain, serta mengembangkan kemampuan berbahasanya. Bantuan yang diberikan oleh seorang terapis, disesuaikan dengan kebutuhan individu anak autis. Hal itu sejalan dengan pendapat Meyer and Johnson  dalam “Management of Children with Autism Spectrum Disorders” yang menyatakan bahwa,”Upaya terapi autism bersifat variatif dan bersifat individual”.
Kemampuan seorang terapis dalam menempatkan anak autis  berdasarkan kasus yang dialaminya, dan membuat program yang disesuaikan dengan kebutuhan individu anak, sangat membantu pengembangan dan mengurangi gejala kemunculan autism. Sebaiknya bantuan itu diberikan sejak anak berusia dini, agar anak memperolah kemampuan diri yang berkaitan dengan self-care (cara merawat diri), social skill (kemampuan melakukan kontak dan tindak sosial) and job skill (keterampilan kerja). Hal itu sangat penting, karena semakin tahun, anak akan menjadi semakin dewasa yang harus dapat mengurus dirinya sendiri, dan tentunya peran orang tua atau orang lain semakin berkurang. Berbagai pendekatan yang dapat dilakukan untuk membantu anak autis, di antaranya yang disebut dengan Applied Behaviour Analysis (ABA).
 Persiapan Program Dengan Teknik ABA
                Teknik ABA (Applied Behaviore Analysis) sudah dikenal sejak lama. Sekitar 15 tahun yang lalu, seorang pakar terapi perilaku yang bernama  Prof. Ivar O. Lovaas dari Amerika Serikat, telah menerapkan metode ini kepada anak-anak autis. (Handojo, 2009:3). Ternyata hasilnya sangat menggembirakan, karena banyak anak yang tadinya autis, kini dapat memasuki sekolah formal. Akhirnya metode ini dikenal dengan sebutan metode Lovaas.
Program yang dilakukaan oleh terapis dengan teknik Applied Behavior Analysis, harus dilakukan dengan penuh kesabaran, tidak dengan tindak kekerasan, marah, pemaksaan, mengancam, bahkan menyakiti anak,  namun  semua yang dilakukan harus berdampak pada kepatuhan anak mengikuti semua program yang telah disusun dengan baik. Ketegasan seorang terapi di mulai dari cara pelatih menggunakan kualitas suara, serta kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif yang digunakannya dalam berkomunikasi dengan anak autis. Program yang telah disusun oleh seorang terapis, sebaiknya juga dapat dilakukan oleh seluruh anggota keluarga di rumah, dengan cara dan teknik yang sama seperti yang dilakukan oleh terapis tadi.
                Pelatihan yang diberikan oleh seorang terapis dengan menggunakan teknik ABA, dilakukan dengan penuh kehangatan, tegas, dan mengapresiasi setiap keberhasilan yang diraih anak. Kehangatan diperlukan agar terjadi kontak mata dengan anak, tegas artinya  semua perintah tidak dapat ditawar dengan tangisan maupun kemarahan anak, dan setiap keberhasilan harus diberi penghargaan berupa kata-kata  bersahabat, tepukan, pelukan hangat, bahkan makanan dan minuman yang disukai anak.
Persiapan yang dapat dilakukan oleh seorang terapi untuk anak autis, dimulai dari penyusunan program, yang dilanjutkan dengan persiapan ruang terapi, persiapan imbalan yang diperlukan, dan mempersiapkan mental anak yang akan melakukan kegiatan terapi. Persiapan ini sangat penting mengingat, terdapat banyak perbedaan dalam menghadapai anak normal dan anak autis.
Persiapan  ruang untuk terapi dilakukan dengan memperhatikan aspek kepentingan anak, seperti ruang dibuat dari bahan-bahan yang aman untuk anak, ruang dibuat kedap suara, suhu udara tidak panas, tidak ada suara pengganggu, ruang tidak terlalu luas-cukup 1,5 m s.d. 2 m, tidak ada gambar mencolok, dan pandangan ke jendela harus dihalangi oleh gorden, agar pandangan anak dapat fokus.
Persiapan imbalan yang diberikan untuk anak autis beraneka ragam, tetapi kita sebagai terapi harus dapat mengurutkan hadiah/imbalan yang akan diberikan untuk merayakan keberhasilan anak. Tepuk tangan disertai dengan ungkapan kata-kata sederhana yang mudah diingat anak, seperti “yes atau toss” dengan menempelkan tangan anak dan tangan terapi, merupakan ungkapan yang menyenangkan. Pemberian imbalan harus diurutkan sesuai dengan kegemaran anak, di mulai dengan urutan verbal,aksi cium-peluk-tepukan-gelitikan-belaian, aksi lainnya seperti kata yes/toss/ok, barulah  diakhiri pemberian materi/makanan. Hal itu dimaksudkan agar anak tidak kehilangan gairah mendengarkan perintah gurunya.
Persiapkan diri anak agar siap untuk menjalani terapi. Terapi diberikan dalam suasana menyenangkan dengan penuh kasih sayang. Anak autis yang memiliki kecenderungan duduk, maka seorang terapis harus lebih sering menggunakan kata “berdiri”! Selain itu, anak autis harus di dudukkan sejajar dengan pandangan mata terapis, agar terjadi kontak mata. Terapis dapat memegang kepala anak dekat telinganya, panggil namanya, dan usahakan anak tersebut mau melakukan kontak mata dengan kita. Jika anak belum mau melakukannya, maka ambillah makanan/benda kegemaran anak, tunjukkan benda tersebut di depan mata anak, agar ia mau melakukan kontak mata, serta melakukan perintah terapis. Bila anak mau melakukan perintah tersebut,dengan waktu sekitar 5 detik, maka anak dapat diberi hadiah.
Anak autis yang beruasi 18-20 bulan, sudah dapat memulai terapi menggunakan teknik Applied Behavior Analysis (ABA). Anak autis harus menjalani terapi setiap hari, dan pengalaman Aqca Center menunjukkan bahwa anak autis yang tidak mengalami komplikasi lain (retardasi mental, cacat penglihatan, cacat pendengaran, dll), dengan terapi metode ABA yang dilakukan lebih dari 8 jam sehari, maka dalam usia 2 s.d. 2,5 tahun, anak autis tersebut sudah dapat mengikuti sekolah regular sesuai usianya. (Handojo, 2009: 17).

Sulispurwita. (2012). Autisme dan Kemampuan Berbahasa Menggunakan Teknik Applied

Behaviour Analysis (ABA). [Online]. Tersedia:

http://sulispurwitaa.wordpress.com/2012/08/02/autisme-dan-kemampuan-berbahasa

menggunakan-teknik-applied-behaviour-analysis-aba/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar